Urgensi Klasifikasi Tradisi Besar vs Tradisi Kecil dalam Kajian Living Hadis
Salah satu hambatan atau tantangan yang sering kali menghantui seorang
peneliti dalam melakukan kajian terhadap kehidupan sosial masyarakat adalah
perspektif yang dimilikinya, terlebih jika penelitian yang sedang dilakukan
adalah penelitian terhadap kebudayaan atau tradisi masyarakat yang berkaitan
dengan agama. Seorang peneliti sering kali, baik secara sadar mau pun tidak,
melakukan justifikasi terhadap tradisi masyarakat. Adalah agama dan ideologi
peneliti yang sering kali menjadikanya melakukan justifikasi. Demikianlah pertanyaan
Ronald Lukens-Bull dalam artikelnya yang berjudul Between Text and Practice:
Considerations in the Anthropological Study of Islam sebagaimana yang
dikutip oleh Saifuddin Zuhri dan Subkhani Kusuma Dewi (Zuhri dan Dewi, 2018:
30).
Dalam beberapa kajian yang dilakukan antropolog terhadap tradisi masyarakat beragama, khususnya di daerah pinggiran, kita temui ada dua term penting. Kedua istilah tersebut adalah ‘tradisi besar’ dan ‘tradisi kecil’. Tradisi besar adalah sebuah bentuk ajaran resmi dari suatu agama, sehingga bisa pula disebut sebagai tradisi universal dimana semua masyarakat beragama sama memiliki konsep yang sama mengenai tradisi atau ajaran tersebut. Sedangkan tradisi kecil adalah suatu bentuk ekspresi terhadap suatu ajaran resmi dengan gaya yang berbeda-beda. Sebab, dalam tradisi kecil ini praktik-praktik lokal atau unsur budaya suatu masyarakat ditambahkan ke dalam praktik keagamaan tertentu. Sehingga, bisa jadi akan ditemui praktik yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dalam tradisi kecil yang disebabkan pengaruh budaya lokal masing-masing masyarakat.
Dua istilah di atas
digunakan secara berbeda oleh beberapa antropolog. Robert Redfield menggunakan
istilah keduanya untuk memudahkannya dalam melihat hierarki yang ada di
masyarakat dalam suatu tradisi. Dalam suatu masyarakat dapat kita lihat ada
yang berperan sebagai ulama yang mewakili tradisi besar. Di tempat yang sama
juga selalu ditemui seorang modin yang mewakili tradisi kecil, atau
seseorang yang paham mengenai tradisi lokal. Sedangkan Ronald Lukens-Bull lebih
cenderung untuk melihat pola interaksi yang terjadi antara dua tradisi tersebut,
sehingga menghasilkan apa yang dia sebut sebagai ‘universalisasi’ dan
‘kontekstualisasi’. Term pertama terjadi apabila suatu tradisi lokal mampu
menjadi suatu tradisi besar, atau dapat menjadi bagian dari tradisi besar.
Sedangkan term kedua terjadi apabila suatu tradisi besar dipraktikan dengan
menyesuaikan tradisi lokal yang ada di masyarakat (Zuhri: 32).
Maka demikian akan banyak
kita temui tradisi yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ronald
Lukens-Bull sebagai universalisasi dan atau kontekstualisasi. Saifuddin Zuhri
(Zuhri: 32) memberikan salah satu contoh dalam kategorisasi ini. Ia menyatakan
bahwa adalah suatu sunah Nabi untuk memberi nama anak dengan nama yang baik.
Ketika memberikan nama untuk anak, juga disunahkan untuk memotong rambutnya dan
melakukan aqiqah. Dan pada kenyataannya, proses aqiqah ini diekspresikan dengan
beragam cara oleh berbagai masyarakat agraris Indonesia. Tradisi aqiqah di Jawa
barang kali akan berbeda dengan tradisi aqiqah di pulau selainnya. Bahkan, bisa
saja juga akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya meski berada
dalam satu pulau yang sama.
Contoh lain dalam kontekstualisasi tradisi besar dapat kita lihat dalam praktik bubur asyura di masyarakat kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan) dan masyarakat kabupaten Hulu Sungai Tengah (Kalimatan Selatan). Masyarakat Wajo, selain berpuasa pada hari asyura, mereka juga membuat bubur tujuh rupa, yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Disebut sebagai tujuh rupa, sebab bahan yang digunakan untuk membuat bubur menggunakan tujuh macam bahan makanan, yaitu beras ketan, kacang ijo, labu, kacang tanah, pisang, nangka, dan ubi jalar. Tujuh rupa tersebut dimaksudkan sebagai doa agar apa yang mereka lakukan pada hari itu, yaitu berpuasa, lancar sesuai harapan (Darmiati, dkk, 2018: 270). Sedangkan di masyarakat Hulu Sungai Tengah terdapat dua jenis bubur yang dibuat, yaitu bubur dengan warna merah dan warna hijau. Pembuatannya dilakukan secara bersama-sama, yang mana nanti buburnya akan dibagikan kepada warga sebagai salah satu menu berbuka puasa.
Dalam dua tradisi di atas,
sebagaimana yang disampaikan oleh Saifuddin Zuhri, kita tidak dapat lagi
membedakan mana tradisi besar dan mana tradisi kecil secara dikotomis. Sebab,
relasi keduanya memainkan peran yang kompleks. Dan dalam kedua tradisi tersebut,
seperti yang dikatakan Bowen, akan kita lihat terjadinya pembagian peran. Seorang
kyai mewakili tradisi besar akan mengajarkan tentang aqiqah dan puasa asyura.
Dan di saat yang sama, akan kita temui juga masyarakat yang mewakili tradisi
lokal (kecil) berperan sebagai orang-orang yang menyiapkan apa saja yang
diperlukan dalam tradisi tersebut (Zuhri: 33).
Sedangkan menurut Abdul
Hamid El-Zein, kategorisasi tradisi besar dan tradisi kecil merupakan
kategorisasi yang kurang bermanfaat. Dalam berbagai kasus dapat dilihat
bagaimana kategorisasi ini dijadikan alat bagi kaum elit untuk mendominasi kaum
awam. Bahkan, menurutnya akan terjadi justifikasi mengenai mana Islam yang
sesungguhnya dan mana Islam yang salah (Zuhri: 34).
Dengan demikian,
kategorisasi tradisi besar dan tradisi kecil merupakan sesuatu yang penting. Dengan
kedua istilah tersebut kita dapat terbantu untuk membedakan mana ajaran agama
yang universal dan mana yang lokal, mana kaum elit dan mana kaum awam. Selain
itu juga akan kita lihat bagaimana relasi keduanya yang ada dalam praktik
keagamaan masyarakat muslim, khususnya di Indonesia yang sarat akan budaya
lokal.
Daftar Bacaan:
Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living Hadis: Praktik, Resepsi,
Teks, dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.
Darmiati, dkk. “Hadis-hadis Tentang Puasa Asyura: Studi Kajian Living
Sunnah di Kecamatan Bola Kabupaten Wajo”. Diskursus Islam, Vol. VI, no.
2 (Agustus 2018), 260-280.
Komentar
Posting Komentar