LIVING HADIS: Sebuah Realitas Sosial-Budaya-Keagamaan di Masyarakat
Manusia tak akan pernah terlepas dari segala tindak laku. Tindak laku yang
dikerjakan manusia kadang dilakukan secara berulang, baik yang dilakukan secara
pribadi mau pun bersama-sama. Tindak laku yang dikerjakan manusia secara
bersama-sama dan dilakukan secara berulang merupakan sebuah kebudayaan. Seperti
yang disebutkan dalam KBBI, kebudayaan dapat dibangun atas beberapa hal,
seperti kepercayaan dan adat istiadat.
Pembentuk
kebudayaan yang paling sering ditemui tampaknya adalah kepercayaan. Kepercayaan
apa pun dan mana pun tampaknya memiliki ritual khusus yang ditujukan agar si
pelaku dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam hal ini maka akan
kita lihat bagaimana banyaknya kebudayaan dilakukan manusia sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka. Dan karena kebudayaan dibangun
untuk tujuan itu, maka teks-teks keagamaan sering kali menjadi sumber tingkah
laku mereka. Begitu jugalah kebudayaan yang dibentuk oleh muslim yang
menjadikan teks agama mereka, al-Qur'an dan hadis (sunnah), sebagai landasan
ritual atau perilaku yang mereka lakukan.
Dalam hal ini,
para dosen, akademisi mau pun peneliti mencoba untuk merumuskan tindak laku
masyarakat yang didasari oleh teks keagamaan, yang mana kemudian mereka
menyebutnya sebagai “Living”, dan disebut “Living Hadis” jika dasar
teksnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW. Sehingga, Living Hadis bisa disebut
sebagai suatu bentuk kajian atau penelitian atas tindak laku, tradisi, atau
praktik, muslim yang didasari oleh hadis Nabi, baik yang dilakukan secara
pribadi mau pun kelompok (Zuhri dan Dewi, 2018: 24).
Living Hadis
sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, jika memang bisa dikatakan demikian, merupakan
disiplin ilmu yang baru. Meski demikian, jika ditinjau ke belakang akan kita
temui bahwa Living Hadis telah disebutkan dan dipopulerkan oleh oleh Barbara
Metcalf lewat artikelnya yang berjudul “Living Hadith in Tablighi Jamaah”. Dan
jika ditinjau lebih jauh lagi, praktik atau ritual yang kita sebut dengan
Living Hadis di masa kini telah ada dan berkembang sejak lebih dari seribu
tahun yang lalu. Hanya saja, istilah yang digunakan adalah living sunnah --praktik
keagamaan yang menjadi tradisi atau perilaku para sahabat dan tabiin di Madinah--
bukan living hadis (Zuhri: 4).
Penelitian living
hadis bisa dikatakan sebagai penelitian yang sulit. Sebagai sebuah disiplin
ilmu mandiri, living hadis tentu membutuhkan metode dan pendekatan. Karena
bersifat living (dalam kehidupan masyarakat), maka cabang disiplin ilmu ini
membutuhkan metode dan pendekatan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial mau
pun budaya, serta keilmuan lain yang terkait dengan manusia. Oleh karenanya,
seorang peneliti living hadis haruslah memiliki keilmuan yang komprehensif,
mencakup keilmuan dalam bidang hadis dan ilmu-ilmu bidang sosial dan
antropologi.
Dalam buku yang
berjudul Living Hadis Saifuddin Zuhri dan Subkhani Kusuma Dewi
mengemukakan beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam living hadis
(Zuhri: 15). Pendekatan pertama yang mereka kemukakan adalah fenomenologi –pengetahuan
mengenai yang tampak atau studi tentang makna. Salah satu penelitian living
hadis dengan menggunakan pendekatan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh M.
Alfatih Suryadilaga yang berjudul “Mafhuum al-Salawaat ‘inda Majmu’at Joged
Shalawat Mataram: Diraasah fi al-Hadiith al-Hayy”. Beberapa kesimpulan yang
didapat melalui penelitian ini adalah bahwa JSM merupakan fenomena living hadis
dan merupakan sebuah gerakan sosial keagamaan yang ingin menyampaikan
pendidikan karakter melalui seni Islami.
Pendekatan kedua adalah narative studies.
Sesuai dengan namanya, pemaparan hasil penelitian menggunakan pendekatan ini
adalah dengan menyusun, menceritakan, atau melaporkan hasil riset secara
kronologis. Pendekatan ini dapat menghasilkan hasil riset yang spesifik. Sebab,
akan dapat dimengerti mengapa suatu ritual dilaksanakan oleh individu atau
sekelompok individu dengan melihat latar belakang pelakunya. Sayangnya, menurut
Zuhri dan Dewi, belum ada penelitian living hadis yang menggunakan pendekatan narative
studies ini. Selain dua pendekatan di atas, Etnografi, Sosiologi
Pengetahuan, dan Sejarah Sosial merupakan pendekatan lain yang dapat digunakan
dalam penelitian living hadis.
Salah satu yang
perlu diperhatikan dalam kajian living adalah mengenai sumber pemaparan data. Penelitian
living haruslah bersifat emic, data yang berasal dari sudut pandang
informan. Etic atau interpretasi peneliti mengenai objek penelitiannya tidak
bisa dijadikan sebagai data dalam penelitian living. Selain itu, sebisa mungkin
seorang peneliti living hadis dapat menemukan informan yang memadai. Maksudnya,
informan tersebut adalah seseorang yang paham mengenai praktik yang dikerjakan,
setidaknya tahu hadis apa yang menjadi landasan praktik tersebut (Zuhri: 14).
Dengan demikian,
kita ketahui bahwa penelitian living hadis bukanlah penelitian yang mudah.
Selain harus menguasai, setidaknya memahami, keilmuan hadis, peneliti juga
harus memahami keilmuan sosial agar dapat menemukan data yang sesuai. Kesuliatan
lainnya adalah kadang seorang peneliti menjadi seorang pendakwah ketika
melakukan riset living hadis. Ini terjadi ketika dia mencoba melakukan
justifikasi mengenai suatu tradisi atau praktik yang ada di masyarakat, yang
mana seharusnya sikap ini tidak boleh dilakukan oleh seorang peneliti. Dan
untuk beberapa hal, bisa jadi penelitian living hadis memerlukan waktu yang
lama. Contohnya ketika yang diteliti adalah praktik masyarakat yang bersifat
tahunan atau menunggu kejadian tertentu.
Sumber Bacaan:
Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.
Komentar
Posting Komentar