Review Bedah Buku “ISLAM” Karya Fazlur Rahman
Abdul Mustaqim
Abdul
Mustaqim membuka diskusi dengan menjelaskan mengenai kesulitannya memahami isi
kandungan buku Islam Fazlur Rahman. Perlu mengulang-ulang bacaan agar
dapat mengerti maksud yang diinginkan oleh Rahman, panggilan untuk Fazlur
Rahman. Hal serupa juga disampaikan sebelumnya oleh Ahmad Rafiq, selaku
Direktur LSQH, bahwa buku Islamnya Rahman adalah buku yang berat. Abdul
Mustaqim menjelaskan isi kandungan buku Islam ini adalah sebagai bantahan
terhadap orientalis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang hypersex
dan Islam adalah agama yang menyukai perang.
Dalam buku
Islam, Rahman membantah orientalis yang menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang
yang hypersex dengan menjelaskan rentang waktu Nabi monogami dan
poligami, mana di antara keduanya yang lebih lama. Selain itu, Abdul Mustaqim
juga menjelaskan keadaan-keadaan wanita yang Nabi nikahi saat poligami, yaitu
para janda-janda yang ditinggal mati suami mereka karena syahid di medan
perang, bukan para gadis muda. Kemudian dengan nada goyon, Abdul
Mustaqim memperingatkan kepada para lelaki yang ingin poligami dengan alasan
sunnah Nabi agar menikahi wanita-wanita yang juga janda terlebih dahulu.
Dalam buku
itu juga Rahman membantah bahwa Islam adalah agama yang menyukai peperangan.
Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa Nabi sangat terpaksa untuk melakukan perang
dengan orang-orang non-muslim. Hal ini dapat dilihat dengan dibuatnya
Undang-Undang yang diberi nama Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah jelas
keinginan Nabi agar kehidupan antara muslim dan non-muslim berjalan damai.
Namun, karena orang-orang non-muslim pada saat itu tetap ngeyel, maka
dibolehkanlah adanya peperangan dalam Islam. inilah yang melatarbelakangi
turunnya ayat ke-93 surah al-Hajj yang isinya adalah kebolehan untuk berperang.
Dalam redaksi ayat tersebut juga disebutkan bahwasanya perang hanya dibolehkan
jika kaum muslimin disakiti.
Syafii Maarif
Membuka
pembicaraannya, Syafii Maarif menyebutkan bahwa Rahman adalah seorang pemikir
Islam yang sangat serius, tajam dan berani. Ia dengan tegas mengkritik
ulama-ulama yang Ia anggap terlalu fanatik terhadap satu golongan Islam
tertentu sehingga menolak segala pemikiran yang berlainan dengan pemikiran
mereka. Keberanian Rahman ini membuat Ia diancam dengan hukuman mati di
Pakistan da membuat Ia imigrasi ke Amerika. Meski demikian, ketika Rahman
mengajar murid-muridnya yang kebanyakan non-muslim, Ia tidak pernah sekali pun
mengajak agar murid-muridnya masuk Islam. Sebagai seorang guru, Ia hanya
menyampaikan al-Qur’an dan tafsir apa adanya. Menanggapi pemikiran Rahman,
Hoffman berpendapat bahwa mungkin saja Islam akan berkembang di Barat karena
terbuka akan pemikiran-pemikiran yang beragam.
Keprihatinan Rahman sebenarnya berawal dari
kenyataan dunia yang pada saat ini jauh dari nilai-nilai moral Islami. Rahman
menyebut bahwa al-Qur’an sebenarnya mengajak kita untuk berpikir bebas, tak
terpaku pada satu teologi tertentu. Maka ketika ditanya mengenai negara Islam
bagaimanakah yang dikehendaki Rahman, Buya Syafii pun menjawab bahwa negara
Islam yang dikehendaki oleh Rahman adalah negara Islam yang rahmatan lil
‘alamin.
Nampaknya
problem inilah yang menjadi keprihatinan terbesar Rahman. Rahman berpendapat
bahwa muslim-muslim sekarang belum mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin
bagi dunia, bahkan jika kita lihat lebih jauh, peperangan-peperangan yang
terjadi adalah konflik yang ditimbulkan oleh sesama golongan Islam. Negara
Islam seperti Arab Saudi, Iran, Libya, dan lain sebagainya telah hancur bukan
hanya karena serangan musuh dari luar, melainkan juga ada problem dari dalam
Islam mereka itu sendiri yang menyebabkan mudahnya mereka dihancurkan. Buya
Syafii menyebut bahwa awal dari semua itu barangkali adalah sikap mereka yang
tidak terbuka terhadap pemikiran-pemikiran dari luar (baca: anti). Islam mereka
hanya satu, yaitu harus sesuai dengan teologi-teologi yang mereka sepakati. Mereka
yang hanya terpaku pada satu pemikiran kemudian akan mudah terpancing jika ada
pemikiran lain yang berbeda dengan pemikiran mereka, bukan hanya pemikiran
Barat yang nota benenya non-muslim, melainkan juga pemikiran Islam dari
golongan lain yang berbeda dengan teologi mereka. Dengan demikian,
konflik-konflik yang terjadi di negara Islam bukan antara muslim dan
non-muslim, melaikan kebanyakannya antara umat Islam itu sendiri. Oleh karena
itu, Buya Syafii kemudian mengajak kita untuk sama-sama meneliti ulang beberapa
hadis. Di antaranya adalah hadis menegenai golongan Islam yang terpecah menjadi
73 golongan dan hadis tentang pemimpin yang berasal dari kabilah Quraisy.
Komentar
Posting Komentar