Peran Penting Sejarah Sosial dalam Kajian Living Hadis

Hasil gambar untuk living hadis saifuddin zuhri




Living hadis yang secara sederhana dimaknai sebagai suatu praktik atau tradisi masyarakat yang berlandaskan sebuah hadis, akan dapat dikaji secara lebih komprehensif dengan menggunakan keilmuan sejarah sosial. Sebelum itu menguraikan bagaimana sejarah sosial menduduki peran penting bagi kajian living hadis, penting bagi kita untuk mengerti apa itu sejarah sosial.

Sejarah sosial, sebagaimana istilah ini terbentuk dari dua kata, merupakan sebuah kajian atau penulisan sejarah yang dimulai dari masyarakat sebagai kelompok yang membentuk suatu kehidupan sosial. Ini menunjukkan bahwa sejarah sosial berbeda dengan kepenulisan sejarah pada umumnya yang memulai dan menjadikan para elit politik atau negarawan sebagai bahan cerita utama (Zuhri dan Dewi, 2018: 88).  

Pola umum dalam menuliskan sejarah dengan menjadikan elit politik sebagai objek utama tidaklah tepat jika ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat tersebut. Hal ini karena dinamika masyarakat tidak hanya terbentuk dari kegiatan politik, tetapi sangat dipengaruhi juga oleh faktor sosial masyarakatnya. Karenanya, mengkaji sejarah sosial adalah suatu hal penting untuk memahami dinamika suatu masyarakat.

Cara penulisan sejarah yang selama ini hanya sekedar menarasikan sebuah atau rentetan peristiwa, khususnya sejarah Islam, berdasarkan kronologis waktu adalah sebuah cara penulisan sejarah yang (dirasa) sia-sia. Salah satu kritik terhadap gaya penulisan sejarah seperti ini dilontarkan oleh Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah (Zuhri:85). Ia menyayangkan cara penulisan sejarah Islam yang:
...umunya hanya menempuh cara taklid, miskin karakter akalnya, selain berpikiran jumud. Ia hanya mengikuti pola penulisan sejarah yang sudah ada dan lalai terhadap perubahan-perubahan masa dan tradisi-tradisinya dari generasi ke generasi.”

Penulisan sejarah dengan cara seperti ini, bagi Ibn Khaldun, tidak memberikan sumbangan signifikan dan pembaruan. Ibn Khaldun menghendaki agar penulisan sejarah bukan hanya sekedar mencatat kembali peristiwa yang lalu, tetapi juga memperhatikan aspek sosial yang tentunya berperan aktif dalam pembentukan sejarah.

Dengan menggunakan sejarah sosial, pembaca diharapkan juga mampu untuk melihat keterkaitan beberapa aspek dalam membentuk suatu peristiwa. Keterkaitan itu, seperti yang dijelaskan oleh Eric Hobsbawn, terletak pada bagaimana ekonomi, politik, dan budaya saling mempengaruhi (Zuhri: 90). Sehingga, sejarah akan dapat dibaca secara lebih utuh.

Kajian living hadis memiliki posisi yang sama dalam tempat penelitiannya, yaitu masyarakat. Salah satu contoh dalam kajian living hadis yang menggunakan sejarah sosial sebagai pendekatannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Richard Bulliet, yang kemudian dibukukan dengan judul Islam, the View from the Egde (Zuhri: 91). Dalam buku tersebut Bulliet menjadikan tarikh Jurjan sebagai objek penelitiannya, di mana dengan ekplorasi mendalam terhadap masyarakat, bukan elit politik, dia mampu menjelaskan kehidupan masyarakat Jurjan secara lebih menyeluruh.

Sebagai sebuah metode, sejarah sosial tidak memulai penelitiannya dari pusat (pemilik otoritas keagamaan di suatu negara atau elit politik), melainkan dari pinggiran (masyarakat awam). Ini sama halnya dengan living hadis yang pada menitikberatkan penelitiannya pada pandangan masyarakat awam terhadap suatu praktik. Maka dengan demikian, sejarah sosial berkontribusi dalam living hadis. Sebagai contoh, jika pendekatan ini dilakukan dalam penelitian di Indonesia, maka pendapat utama yang dicari bukanlah pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI), melainkan pendapat masyarakat umum, seperti individu atau kelompok kecil masyarakat.

Sejarah sosial akan sangat dibutuhkan oleh peneliti di Indonesia. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui, budaya dan perilaku sosial masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Hindu-Buddha. Proses peng-Islam-an yang dilakukan di Indonesia, khususnya oleh Wali Songo, dimulai dari pendekatan mereka terhadap masyarakat melalui budaya yang ada dengan memasukkan nilai-nilai keislaman pada budaya atau tradisi tersebut. Sehingga, keberagamaan Islam di Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri yang tentu berbeda dengan keberagamaan di negara lainnya.

Oleh karena itu, untuk memahami lebih jauh tentang keberagamaan masyarakat Indonesia, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah sosial. Hal ini, sebagaimana kata Ibn Khaldun, agar dapat memahami dinamika perkembangan pembentukan sosial suatu masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga membantu generasi selanjutnya untuk memahami dan menjadikan sejarah terdahulu sebagai sebuah pelajaran. Ini karena, menurut Bulliet, menjelaskan perkembangan dan perubahan suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya tidak bisa hanya dengan sejarah politik, tetapi juga harus menggunakan sejarah sosial.
           


Daftar Bacaan:

Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.


Komentar

Postingan Populer